KANALWARGA – Uang perpisahan sekolah sudah mulai ramai dibicarakan. Ada yang pro ada juga yang kontra. Saat menjaring pendapat di laman Facebook KAPOL, dua arah pandangan berbeda itu mengemuka.
“Wajar saja. Karena tak ada biaya dari pemerintah untuk perpisahan. Dari dulunya sudah ada. Kecuali kementerian melarang sekolah. Jangan ada upacara pepisahan atau upacara kenaikan kelas,” kata Aas Hasbuna.
Pendapat itu didukung Anwar Maulana. Menurutnya, acara perpisahan sekolah sudah menjadi agenda sekolah yang sudah lumrah. Kalaupun harus bayar, boleh-boleh saja. “Gak masalah, wisuda juga bayar,” ujar Anwar.
Walaupun ada yang menentang juga. Salahsatunya, Aip Atma. Menurutnya perpisahan sekolah bisa membuat orang tua siswa serba salah. “Ngarudetkeun. Studi tour dan perpisahan adalah kegoblogan yang berkelanjutan. Gak ikut salah, ikut nya kitu tea. Serba salah!” ujarnya.
Bahkan, pernyataan Rino Vishnu Satria lebih keras. “Berhentikan kepsek yang terbukti mengizinkan paksaan untuk uang perpisahan,” katanya.
Ada yang mengaitkan dengan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS). Mempertanyakan, apakah peruntukan BOS bisa dialokasikan untuk biaya perpisahan? Jika bisa jangan ada pungutan. Kalau tidak bisa, pihak sekolah harus lebih bijak.
“Apakah biaya perpisahan sekolah ada dalam catatan anggaran BOS? Jika ada, saya tidak setuju dengan memungut biaya kepada murid atau wali murid,” kata Moch Reza Wardani .
“Lamun aya tina dana BOS mah nya kangge naon dipungut deui. Kecuali lamun di abdi mah sok aya samenan (raramean) ngayakeun panggung pentas seni jeung sajabana. Teu nanaon. Asal setuju sadayana. Timbang 6 taun sakali. Atau 3 taun sakali ngaluarkeun duit sakitu mah puas we,” kata Latiful Hayat.
Kang Epul mengutip Permendikbud No. 8 thn 2020, yang menyatakan salah satu larangan penggunaan dana BOS itu yaitu: tidak diperbolehkan untuk kegiatan perpisahan sekolah. “Sah-sah aja, asalkan jangan menggunakan dana BOS aja, Makanya diadakan musyawarah dengan komite juga. Berarti pihak orang tua siswa bisa memutuskan apa setuju atau tidak setuju dengan adanya kegiatan perpisahan sekolah tersebut,” katanya.
Jika begitu Iwan Setiawan berpandangan senada dengan Latiful Hayat. Menurutnya, teu sawios-wios tapi realistis. Biasana komite sekolah yang harus bela. “Biasanya pihak sekolah suka bilang infak. yang namanya infak mah berapa weh tapi ditarget,” ujar Iwan Setiawan.
Rini menguatkan, semua kegiatan yang di luar dana BOS itu hasil musyawarah dan persetujuan pihak sekolah dengan orang tua/wali murid. “Kalo perpisahan suka inget/rindu acara upacara adatnya. Terus dibagi snack, Dan itu salah satu momen terindah bersama teman dan guru-guru sebelum meninggalkan sekolah tercinta,” ujar Rini.
Herdianto Roni juga memandang uang perpisahan masih wajar. “Menurut saya uang pungutan perpisahan boleh saja, dengan cara bermusyawarah dari pihak sekolah dan orang tua siswa. Kadang ada sekolah yang memaksakan pelaksanaannya di luar sekolah (hotel, gedung-gedung resepsi). Jelas biaya pun tidak kecil. Kalo mau tempatnya ya di sekolah saja apa adanya. Itu lebih efisien dan berkesan buat semuanya. Maaf kalo pendapat saya kurang berkenan,” katanya.
Bagaimana dari kacamata hukum? Kalau tidak bijak bisa terjeratkah?
Pembayaran uang perpisahan sekolah masuk kategori pungutan liar (pungli). Sekolah dilarang memungut uang perpisahan, meski hal itu atas kesepakatan dari pihak komite sekolah dan orang tua siswa.
Pasal 10 ayat 1 dan 2 Permendikbud 75 tahun 2016 tentang Komite menyebutkan bahwa komite sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.
Perlu ditegaskan yang dimaksud penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan sumbangan, bukan pungutan. Artinya jika untuk perpisahan itu berbentuk sumbangan boleh-boleh saja. Tidak memungut, apalagi memaksa.